Satu-satunya
kisah yang tidak pernah bisa aku lupakan dalam hidupku, satu waktu di mana aku
merasa sangat bodoh dengan segala ketidaktahuanku. Tak pernah terpikir
sebelumnya, karena yang aku tahu dulu semua kehidupan adalah sebuah perjalanan
yang mengasyikkan dalam cerita binatang yang aku baca. Sampai aku tersadar
bahwa kancil-kancil pun akan tertangkap pak tani saat mencoba mencuri timun.
Ahh, sungguh sial nasib si kancil, pikirku. Dalam kenyatannya beberapa cerita
kehidupan memang demikian kejam.
Teman, di sini akan saya ceritakan
masa lalu saya kepada kalian. Saat menginjak bangku kelas 4 SD, di mana saya
diangkat dari penyakit paru-paru TBC yang setia menemani saya sejak sekolah
taman kanak-kanak. Berangkat dari situ, tidak pernah terbayangkan sebelumnya
jika ternyata Ayah turut diangkat dari kehidupan saya. Masih sangat jelas hari
dikabarkan ayah saya kecelakaan. Hari itu hari Senin, pagi sekali sebelum
berangkat sekolah Ibu ditelepon paman dan memberi kabar Ayah kecelakaan saat
perjalanan menuju Surabaya. Hari itu Ibu
langsung menyusul Ayah ke Surabaya. Jujur, saat itu saya tidak cukup dewasa
untuk memahami nurani saya sebagai anak, meskipun dari kecil saya sangat dekat
dengan beliau.
Saya
dengan seketika melupakan kejadian itu dan bersekolah seperti biasa. Lantas
angin sudah membawa berita begitu cepat, saat sampai di sekolah saya memasuki
ruang kelas dan langsung duduk, teman saya yang baru datang nyeletuk “Ziz,
Ayahmu kecelakaan?”. Spontan dengan cepat sel saraf saya menegur nurani dan
hati saya dan memberitahu sekali lagi bahwa Ayah, sang pendongeng yang hebat
itu tengah mengalami masa kritisnya di rumah sakit. Mulut saya terkunci
menjawab pertanyaan Dani. Dengan perasaan terpukul saya meninggalkan kelas dan
pergi ke bawah pohon belimbing di belakang sekolah. Entah apa yang saya rasakan
saat itu, saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis. Saya tertunduk
bersandar pada pohon. Sampai-sampai guru kebingungan mencari, dan baru jam 10
siang seorang teman memergoki saya. Langsung Bu Guru menghampiri dan bertanya
mengapa, lalu saya ceritakan semua kesedihan saya. Bu Guru lantas menghibur
hati panjang lebar untuk menenangkan hati saya.
Hari
Senin berlalu, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, sama. Saya masih kesepian
karena belum bisa berjumpa Ayah yang sedang di rawat di Surabaya, dan juga Ibu
yang menemani Ayah ke Surabaya sejak Senin lalu. Saya dititipkan di rumah Bibi.
Sabtu itu, saya bersekolah seperti biasa. Karena Sabtu tidak ada jadwal sholat
jama’ah di masjid sekolah, jadi sebelum dhuhur kelas sudah dibubarkan. Saya
pulang ke rumah Bibi. Di sana ada kedua kakak saya dan sepupu-sepupu saya.
Ramai sekali, kami bergurau ria melepas lelah dari sekolah. Namun, semua
terkaget saat paman saya pulang membawa berita duka. Ayah meninggal. Semua
merasa kehilangan terutama saya. Tidak bisa saya pahami sebetulnya apa arti
kehilangan saat itu, yang saya tau saya tidak punya Ayah lagi, tidak ada teman
untuk bergurau, tidak ada yang menggendong saya lagi, tidak ada yang mendongeng
sebelum tidur lagi.
Saya
hanya bisa menangis menunggu jenazah Ayah dipulangkan, sekitar ba’da maghrib
jenazah Ayah baru tiba di rumah saya. Saya kecewa ketika semua orang melarang
saya menemui beliau. Saya kembali menangis, sampai sekitar tengah malam jenazah
Ayah saya dikuburkan. Luka, hanya itu yang saya mengerti. Seorang gadis kelas 4
SD harus berkelahi dengan luka membuncah yang begitu kuat. Berat saya lewati
hari-hari dengan pertanyaan kehidupan yang bertubi-tubi. Bagaimana saya nanti
malam dan malam selanjutnya tidur tanpa dongeng? Bagaimana jika tidak ada lagi
yang menggendong saya? Siapa nanti yang akan membubuhkan tanda tangan di Rapor
saya? Apa yang harus saya lakukan jika rantai sepeda saya lepas? Dan masih
banyak yang saya tidak tau, Entah.
lambat
laun waktu berjalan, saya mulai terbiasa dengan semuanya. Saya bisa memasang
rantai sepeda saya yang lepas, saya bisa mendongeng kepada kedua kakak saya
saat akan tidur, saya tidak lagi digendong, tapi saya suka menggendong
bayi-bayi dan anak anak kecil, saya belajar banyak hal. Saya mulai mandiri dan
tidak bergantung kepada orang lain. Menjadi kuat dan tidak lemah, itu yang
selalu Ibu katakan kepada saya. Karena kita tidak akan tau kapan orang terdekat
dan terkasih kita akan meninggalkan kita, jika kita tidak kuat bagaimana kita
bisa hidup tanpa mereka? Bersyukur dan tetap husnodzhon kepada Allah SWT,
karena kita tidak akan tau kapan kita akan dimenangkan. “Kita memang terpisah dalam raga, namun akan selalu kusambut dirimu
dalam doa, Ayah!” (AJIJUNG)