Minggu, 04 Desember 2016

Aku dan Perginya Sang Pendongeng




Satu-satunya kisah yang tidak pernah bisa aku lupakan dalam hidupku, satu waktu di mana aku merasa sangat bodoh dengan segala ketidaktahuanku. Tak pernah terpikir sebelumnya, karena yang aku tahu dulu semua kehidupan adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan dalam cerita binatang yang aku baca. Sampai aku tersadar bahwa kancil-kancil pun akan tertangkap pak tani saat mencoba mencuri timun. Ahh, sungguh sial nasib si kancil, pikirku. Dalam kenyatannya beberapa cerita kehidupan memang demikian kejam.
            Teman, di sini akan saya ceritakan masa lalu saya kepada kalian. Saat menginjak bangku kelas 4 SD, di mana saya diangkat dari penyakit paru-paru TBC yang setia menemani saya sejak sekolah taman kanak-kanak. Berangkat dari situ, tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika ternyata Ayah turut diangkat dari kehidupan saya. Masih sangat jelas hari dikabarkan ayah saya kecelakaan. Hari itu hari Senin, pagi sekali sebelum berangkat sekolah Ibu ditelepon paman dan memberi kabar Ayah kecelakaan saat perjalanan menuju Surabaya.  Hari itu Ibu langsung menyusul Ayah ke Surabaya. Jujur, saat itu saya tidak cukup dewasa untuk memahami nurani saya sebagai anak, meskipun dari kecil saya sangat dekat dengan beliau.
Saya dengan seketika melupakan kejadian itu dan bersekolah seperti biasa. Lantas angin sudah membawa berita begitu cepat, saat sampai di sekolah saya memasuki ruang kelas dan langsung duduk, teman saya yang baru datang nyeletuk “Ziz, Ayahmu kecelakaan?”. Spontan dengan cepat sel saraf saya menegur nurani dan hati saya dan memberitahu sekali lagi bahwa Ayah, sang pendongeng yang hebat itu tengah mengalami masa kritisnya di rumah sakit. Mulut saya terkunci menjawab pertanyaan Dani. Dengan perasaan terpukul saya meninggalkan kelas dan pergi ke bawah pohon belimbing di belakang sekolah. Entah apa yang saya rasakan saat itu, saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis. Saya tertunduk bersandar pada pohon. Sampai-sampai guru kebingungan mencari, dan baru jam 10 siang seorang teman memergoki saya. Langsung Bu Guru menghampiri dan bertanya mengapa, lalu saya ceritakan semua kesedihan saya. Bu Guru lantas menghibur hati panjang lebar untuk menenangkan hati saya.
Hari Senin berlalu, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, sama. Saya masih kesepian karena belum bisa berjumpa Ayah yang sedang di rawat di Surabaya, dan juga Ibu yang menemani Ayah ke Surabaya sejak Senin lalu. Saya dititipkan di rumah Bibi. Sabtu itu, saya bersekolah seperti biasa. Karena Sabtu tidak ada jadwal sholat jama’ah di masjid sekolah, jadi sebelum dhuhur kelas sudah dibubarkan. Saya pulang ke rumah Bibi. Di sana ada kedua kakak saya dan sepupu-sepupu saya. Ramai sekali, kami bergurau ria melepas lelah dari sekolah. Namun, semua terkaget saat paman saya pulang membawa berita duka. Ayah meninggal. Semua merasa kehilangan terutama saya. Tidak bisa saya pahami sebetulnya apa arti kehilangan saat itu, yang saya tau saya tidak punya Ayah lagi, tidak ada teman untuk bergurau, tidak ada yang menggendong saya lagi, tidak ada yang mendongeng sebelum tidur lagi.
Saya hanya bisa menangis menunggu jenazah Ayah dipulangkan, sekitar ba’da maghrib jenazah Ayah baru tiba di rumah saya. Saya kecewa ketika semua orang melarang saya menemui beliau. Saya kembali menangis, sampai sekitar tengah malam jenazah Ayah saya dikuburkan. Luka, hanya itu yang saya mengerti. Seorang gadis kelas 4 SD harus berkelahi dengan luka membuncah yang begitu kuat. Berat saya lewati hari-hari dengan pertanyaan kehidupan yang bertubi-tubi. Bagaimana saya nanti malam dan malam selanjutnya tidur tanpa dongeng? Bagaimana jika tidak ada lagi yang menggendong saya? Siapa nanti yang akan membubuhkan tanda tangan di Rapor saya? Apa yang harus saya lakukan jika rantai sepeda saya lepas? Dan masih banyak yang saya tidak tau, Entah.
lambat laun waktu berjalan, saya mulai terbiasa dengan semuanya. Saya bisa memasang rantai sepeda saya yang lepas, saya bisa mendongeng kepada kedua kakak saya saat akan tidur, saya tidak lagi digendong, tapi saya suka menggendong bayi-bayi dan anak anak kecil, saya belajar banyak hal. Saya mulai mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Menjadi kuat dan tidak lemah, itu yang selalu Ibu katakan kepada saya. Karena kita tidak akan tau kapan orang terdekat dan terkasih kita akan meninggalkan kita, jika kita tidak kuat bagaimana kita bisa hidup tanpa mereka? Bersyukur dan tetap husnodzhon kepada Allah SWT, karena kita tidak akan tau kapan kita akan dimenangkan. “Kita memang terpisah dalam raga, namun akan selalu kusambut dirimu dalam doa, Ayah!” (AJIJUNG)