Rabu, 09 Desember 2015



“...Berkali-kali dia merengkuhku, mengusap air mataku yang jatuh. Sedang aku tetap meraung-raung mencoba protes terhadap apa yang terjadi dengan hubungan kami. Dia tetap tenang, mengecup keningku, mataku, pipiku, bibirku. Dia adalah satu-satunya lelakiku dan kini dia bukan lagi milikku. Aku tetap menangis menerima kenyataan ini, aku tau diapun berat melepaskan aku. Aku lihat matanya sembab dan berair. Aku memeluk dan menciumnya seakan tak mau lepas dan bertanya-tanya kenapa ini bisa terjadi Zee?...”
“...Kamu egois Jenn, cobalah diam saat keadaan buruk seperti ini. Aku tau yang terbaik untuk kita...” suaranya melemah, melebur bersama aliran sungai di sebelah kami...
“...Lantas? Bagaimana dengan perkawinan kita? Apa aku harus mencari pengganti mempelai pria saat kau tak datang?” nadaku sesenggukan dan semakin kueratkan pelukanku...
“...Lalu suara Zeedan menghilang, tampak tubuhnya hitam. Menjauh. Aku mencoba meraihnya, namun tak sampai. Ku panggil dia berulang kali, suaraku hanya menggema. Entah. Dia lenyap. Tiba-tiba tubuhku menjadi panas dingin dan menggigil. Aku mendesis desis seperti ular. Keringatku bercucuran mengalir melewati pelipis, menyatu dengan air mataku. Kejam...”
            “Papah, tolong panggilkan dokter, Jenny sakit!” teriak mamahku panik.
            “Jenny sayang, Jenny dengar suara mamah?” tangan kirinya menepuk-nepuk pipiku dan tangan kanannya mengusap-usap rambut panjangku.
            Aku ingin sekali menjawab mamahku dan berkata aku tidak apa apa. Tapi tubuhku terasa lemas, mulutku tak dapat kugerakkan, mataku tak dapat terbuka. Aku dapat mendengar semua yang ada di sekelilingku, hanya mendengar..... (Aji-Jung)
.... Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar